Daily Archives: 10 Februari 2012

Membaca Kepengarangan SN Ratmana


Keterlaluan rasanya jika ada orang Tegal tak mengenal sosok sastrawan Indonesia yang berasal dari daerah sendiri seperti SN Ratmana. Jika tidak kenal dengan orangnya, paling tidak pada karya-karyanya. Sebagai pengarang, ia telah berhasil merekam jejak perjalanannya dalam banyak buku. Sebagai pendidik, ia bisa dibilang sebagai guru yang tidak biasa. Seperti yang sering beliau katakan bahwa seorang guru yang telah memberikan baktinya lebih dari sekedar menjalankan tugas-tugas rutinnya adalah guru  yang mau membaca dan menulis.

Dalam waktu dekat, tepatnya Minggu, 12 Februari SN Ratmana akan melaunching buku terbarunya yang berjudul Lolong Lelaki Lansia yang bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena Tegal, bertempat di Pendopo Ki Gede Sebayu Kota Tegal. Pada kesempatan itu akan hadir Prof. Dr. Abu Su’ud, Kurnia Effendi (Penulis dan Pecinta Sastra) yang akan membedah isi buku.

Yang jelas, ini bukanlah buku pertamanya, Kumpulan cerpennya yang telah diterbitkan sebelumnya antara lain Sungai, Suara dan Luka (Sinar Harapan, 1981). Asap itu Masih Mengepul (Balai Pustaka, 1998), Dua Wajah dan Sebuah Sisipan (Kepel Press,2001). Sedangkan novel beliau telah  menerbitkan Ketika Tembok Runtuh dan Bedil Berbicara (Indonesia Tera 2002), Soetji Menulis di Balik Papan Tulis (Wacana Bangsa, 2005), Sedimen Senja (Kompas, 2006). Novel itu diterbitkan kembali oleh Gramedia pada tahun 2011. Jika dirunut, Lolong Lelaki Lansia ini merupakan buku ketujuh yang ditulis SN Ratmana. Dan itu belum termasuk karya-karya lain yang sudah diterbitkan di media massa seperti Majalah Sastra, Indonesia, Kisah, Horison, Kompas, Suara Merdeka, dan media lainnya.

Sesuai judulnya, buku itu diterbitkan ketika SN Ratmana berusia senja. Ia lahir pada  6 Maret 1936. Berarti sekarang beliau berusia 76 tahun. “Lansia yang produktif!” begitu komentar salah seorang kawan saya yang juga seorang penulis.

Buku ini berisi satu novelet dan 10 potret diri lelaki lansia yang terangkum dalam 10 cerita pendek. Novelet ditulis berdasarkan kisah nyata heroik yang dekat dengan sejarah di tahun-tahun pertama setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada Agresi Militer pada tahun 1949. Kesepuluh cerpen pun berisi kisah nyata. Baik kisah SN Ratmana maupun dari potret pengalaman orang lain yang dinilai penting untuk dituliskan.

Soetjiningrat -nama asli SN Ratmana- seakan tak ingin menyimpan fakta sejarah yang seharusnya diketahui publik. Melalui bukunya yang berjudul Lolong, Lelaki Lansia (2012) SN Ratmana membeberkan kenyataan mengejutkan terkait aspek historis dua simbol sejarah di Pekalongan: Monumen 3 Oktober 1945 di Jalan Pemuda dan Tugu Pencongan.

Beliau ingin mengajarkan kepada kita bahwa sejarah kepahlawanan tidak cukup diabadikan dalam simbol semata. Kalau pun disimbolkan mestilah mempertimbangkan aspek historis yang melatarbelakangi bagaimana sebuah monumen itu berdiri. Pemutarbalikkan sejarah juga menjadi hal yang  tidak etis karena hal itu hanya akan menciderai nilai yang terkandung di dalamnya. Ia sangat yakin, lewat pendokumentasian yang tercatat oleh pelaku sejarah, fakta yang dibelokkan lambat laun akan kembali pada asalnya. Siapa menduga jika SN Ratmana berani meluruskan aspek historis Tugu Indah berbentuk bambu runcing yang dikenal sebagai Monumen 3 Oktober 1945 yang ada di Jl. Pemuda di Pekalongan itu?

Dalam noveletnya Ratmana menawarkan pelurusan sejarah terkait aspek historis monumen itu. Saat itu, tepatnya 3 Oktober 1945, rakyat, termasuk pelajar berkumpul di sebuah lapangan untuk menyaksikan upacara penyerahan kekuasaan dan penyerahan senjata dari Bala Tentara Dai Nippon kepada rakyat  Pekalongan. Tapi yang terjadi, ribuan rakyat, termasuk para pelajar, bukannya menyaksikan penyerahan senjata, melainkan mereka menjadi korban pembantaian. Tentara Jepang keluar dari markas dan memberondong rakyat dengan mitraliur! Sebanyak 37 orang tewas di tempat. Ratusan lainnya luka-luka. Keributan dan kepanikan menyebar ke segenap penjuru kota. Disusul kemudian dengan kemarahan rakyat dan dendam luar biasa kepada Jepang. Mereka yang jadi korban kekejaman Jepang sampai gugur sempat dicatat.  Padahal mereka bukan yang melakukan perlawanan dan mengalahkan Jepang.

Ia seakan mempertanyakan kenapa Tugu Pencongan yang ada di Pekalongan keberadaannya seakan dibiarkan merana, seakan tak terawat, sementara untuk para korban pembantaian tentara Jepang dibuatkan tugu dan monumen yang megah seperti pada Monumen 3 Oktober 1945. SN Ratmana seakan mempertanyakan sikap tidak adil terhadap kenyataan ini.

Melalui novelnya SN Ratmana menuliska bahwa gugurnya para pahlawan di Jembatan Pencongan memang tidak sekolosal dan menggemparkan seperti 3 Oktober di Pekalongan. Meski begitu nilai heroisme para pahlawan yang gugur di sini tidak kalah hebatnya dengan mereka. Di  jembatan itu banyak para pejuang yang dieksekusi dengan penembakkan kemudian jasadnya diceburkan ke dasar sungai. Tugu Pencongan memiliki nilai perjuangan yang jauh lebih  tinggi daripada Monumen 3 Oktober. Hanya saja, kondisinya dibiarkan merana, tak ada prasasti, tak terawat, terlalu lugu, sekedar tumpukan batu bata yang dilepa dan dilabur, dan kotor. SN Ratmana menunjukkan sesuatu yang tidak adil. Ketidakadilan ini pada kenyataan bahwa korban pembantaian tentara Jepang dibuatkan tugu dan monument yang hebat. Tapi belum untuk di Pencongan. Penyebabnya diabaikanya nilai kepahlawanan dibalik berdirinya tugu ini.

SN Ratmana memaparkan sesuatu yang beda dari yang kebanyakan orang tahu mengenai penghargaan tentang nilai kepahlawanan. Yang Ratmana sajikan bahkan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Nilai kepahlawanan bukan hanya milik para pejuang, para pejabat, atau bahkan orang berpendidikan, rakyat biasa pun punya kesempatan yang sama.

Dalam cerpen Tasini misalnya, dikisahkan tentang silang pendapat para anggota dewan yang sedang rapat untuk memutuskan nama jalan dari gang sempit yang telah dilebarkan agar bisa dilalui oleh mobil. Masalahnya adalah jalan itu belum memiliki nama. Hingga muncullah beberapa nama yang diusulkan dan diajukan dalam rapat anggota dewan. Seperti biasa dari kalangan birokrat mengusulkan dengan nama walikota pertama, R Soempeno. Nama-nama lain  yang  muncul adalah Brigjen Tarjono, dan… Tasini!  Nama yang terakhir adalah  perempuan yang semasa  hidupnya berkali-kali gila ketika hamil dibulan pertama dan sembuh dengan sendirinya ketika hendak melahirkan. Anak yang dilahirkan adalah tidak lain Brigjen Tarjono.

Masing-masing dari kubu pemerintah dan rakyat biasa menunjukkan jasa dan nilai kepahlawanan yang telah dilakukan semasa hidupnya. Walikota mengusulkan R Soempeno sebagai nama jalan karena nama itu merupakan walikota pertama yang merakyat, seorang pejuang kemerdekaan  yang gigih, serta kejujurannya patut dijadikan teladan, sehingga memiliki kelayakan mengabadikannya sebagai nama jalan. Sementara yang mengusulkan Brigjen Tarjono adalah karena kebesaran hatinya kepada ibunda tercinta. Saat wafat ia menyampaikan wasiat agar ketika meninggalkan dimakamkan di kuburan emaknya di sebuah kampung kecil, padahal karena  perjuangannya ia layak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Berbagai silang pendapat yang muncul, lahirlah sebuah kesepakatan  bahwa Tasinilah sebagai nama jalan tersebut, karena pengorbanannya sebagai perempuan biasa yang melahirkan anak-anak yang memiliki andil besar memajukan daerah, dan juga sebagai tanda bukti dan hormat kepada sosok ibu. Kesepuluh cerpen yang ada dalam buku tersebut disebut-sebut Ratmana sebagai potret dirinya sebagai lelaki lansia. Cerpen-cerpennya sebagian besar mengisahkan pengalamannya selagi muda.

Jarang rasanya ada yang bisa berkisah sekaligus menuliskan serunut dan sedetil SN Ratmana. Ketika saya ingin tahu kelanjutan kisah yang dinilai memiliki suspens saat ia bercerita, buru-buru ia memotong, menahan rasa ingin tahu saya dengan mengisahkan kronologis yang runut sehingga keterkejutan menjadi logis. Buku terbarunya ini seakan menunjukkan kepada kita betapa sejarah itu bernilai.

Kepergian istri yang dicintainya juga digambarkan dalam beberapa cerpen seperti Duh, Seikat cerpen mini (2)!, Orong-orong. Cerpen-cerpen yang lain juga  tak  kalah  menarik untuk  disimak, Asap, Beliau, Lelaki dalam Tiga Peristiwa, Intuisi, Pipiiiiis!!, Malaikat-malaikat itu, dan Bah!

 

Pembukaan karya-karya SN Ratmana memiliki daya tarik yang memikat sehingga pembaca memiliki rasa ingin tahu yang lebih persoalan apa yang ingin disajikan penulis. Kapasitasnya sebagai saksi sekaligus pelaku sejarah, ia tidak terjebak pada sebatas pencerita.

Sulaiman dan Sunu Wasono menyebut cerpen-cerpen SN Ratmana sebagai cerpen-cerpen realis, Karya semacam itu memperlihatkan kesan seolah-oleh objek (realita) itu tampil sebagaimana adanya.  Hal  itu ditandai pada subjek  pencerita pada posisi sebagai pelapor kenyataan. Dengan begitu subjek  pencerita berdiri pada posisi yang jauh dari yang diceritakannya. Kalaupun menjadi tokoh dalam cerita itu, ia mampu mengendalikan emosinya untuk tidak mengintervensi persoalan yang bergulir di antara tokoh lain. Itulah menariknya SN Ratmana!

Ali Irfan, – Ketua Forum Lingkar Pena Tegal

Dimuat di Radar Tegal, 9 Februari 2012

Tinggalkan komentar

Filed under Lolong Lelaki Lansia